Oleh
: Fidri Yuliyana,A.Md(Fidri Candlelight)
Cinta
Apa Adanya
Aku tak pernah menyangka semua ini akan terjadi. Aku juga
tidak menyangka dia mencintaiku seperti itu. Awal pertama bertemu aku sudah
jatuh cinta padanya, begitupun dia, dia juga mencintaiku sama seperti aku
mencintai dirinya. Perkenalan yang singkat, membuat aku tidak mengerti banyak
tentang dirinya. Aku orangnya cemburuan, aku cemburu kalau cewek-cewek lain
nempel dengannya. Aku tahu dia hanya membuat aku cemburu. Dia paling senang
membuat aku cemburu.
Suatu ketika kesabaranku habis, aku nggak masalah dia
membuat aku cemburu. Tapi ini sudah kelewatan, dia bermain api dengan sahabatku
sendiri. Ketika aku tanya mereka berdua hanya senyum-senyum. Hari itu juga aku
memutuskan hubungan dengannya.
“Sekali lagi aku tanya sama kamu, kamu suka sama Ine?” Tanyaku.
“Cemburu ya...?” Godanya.
“Okey... kalau kamu nggak mau jawab aku. Jangan pernah
temui aku lagi.”
“Sayang... dengerin aku dulu.”
“Aku udah capek Rahes, kamu selalu membuat aku cemburu
buta.”
“Aku nggak maksud begitu. Aku sayang sama kamu.”
“Sekarang kita jalan masing-masing dulu, aku mau
intropeksi diri dulu.” Aku berlalu pergi...”
“Ingka.....” Panggil Rahes. Aku tak menghiraukan dia. Aku
kecewa dengan Rahes. Aku mau menenangkan fikiranku dulu, kebetulan aku libur
kuliah selama dua bulan. Aku bisa pergi ke luar kota untuk refresing. Aku mengganti
nomor handPhoneku, tak ada satupun yang tahu nomor Handphoneku selain keluarga.
Aku menemukan hidupku yang baru, aku merasa tenang di
kota ini. Aku memutuskan untuk pindah kuliah. Mamaku setuju, akupun mengurus surat
kepindahanku ke kota ini. Aku mendapatkan teman-teman baru. Aku tidak tahu lagi
kabar Rahes dan Ine, aku berusaha untuk melupakan Rahes. Memang sulit untuk
melupakan orang yang dicintai.
Berbulan-bulan aku tak mendnegar kabar Rahes, akupun
sudah lupa dengan dirinya. Tapi entah kenapa aku tidak bisa mencari pengganti
dirinya di kota ini. Aku nggak bisa menjalin hubungan dengan orang lain, aku
terus merasa tidak ada kecocokan di antara mereka yang PeDeKaTe sama aku.
Dua tahun sudah berlalu, aku telah di wisuda. Aku ingin
mengabdikan diriku ke tanah kelahiranku. Aku kembali ke rumah orangtuaku. Kota yang
telah lama aku tinggalkan. Ketika aku sampai dirumah karena lelah aku tertidur
lelap. Ketika itu aku bermimpi Rahes datang kepadaku, memanggilku dan memelukku
dengan erat. Tak ada kata hanya kehangatan cintanya yang kurasakan. Aku terbangun
dari mimpi itu. Kenapa setelah sekian lama Rahes datang lagi dalam mimpiku. Kenapa aku belum bisa melupakannya?.
Ketika itu aku di ajak oleh sepupuku menemui pacarnya
yang sedang dinas di Rumah Sakit jiwa. Sebenarnya aku takut sich, tapi sepupuku
memohon untuk menemaninya.
“Ingka, kali ini aja...Please.”
“Iya dech... bawel.”
Aku dan sepupuku telah tiba di Rumah Sakit Jiwa, aku
merasa ngeri aja nanti ada orang gila yang menghampiriku. Aku sedikit takut. Aku
melangkahkan kaki masuk keruangan itu. Aku
melihat banyak orang yang jiwanya terganggu berada di taman. Tapi aku menemukan
sosok yang membuat aku penasaran. Dia sendirian menepi di taman, tak tampak
seperti orang gila lainnya. Mataku masih tertuju kepadanya. Entah apa yang
membuatku melangkahkan kakiku kearahnya.
“Ingka, aku menemui riko dulu ya.” Sepupuku menyadarkanku.
“Iya...” Jawabku. Aku terhenti sejenak memandangi dia
dari belakang. Ketika itu aku di kejutkan oleh perawat yang ada disana.
“Mau kemana dek?”
“Maaf suster, saya mau....” aku gugup menjawabnya.
“Kamu pasti melihat laki-laki yang duduk disana?”
“I..ya...” Jawabku.
“Dia sebenarnya tidak gila.”
“Kalau tidak gila, ngapain disini?” Tanyaku keheranan.
“Dia hanya depresi ringan. Dia di tinggal sama pacarnya.”
“Ngeri juga ya suster.”
“Iya... orangtuanya membawa dia kesini, karena kamarnya
selalu berantakkan, kalau dia ingat pacarnya yang telah meninggalkannya. Dia merasa
bersalah telah mengkhianati pacarnya, dan itu menimbulkan kejiwaannya sedikit
terganggu. Orang tuanya sibuk dan tidak bisa mengurusinya.”
“Apa bisa di sembuhkan suster?”
“Bisa, kalau dia bisa mendapatkan maaf dari pacarnya,
karena selama ini dia terbebani oleh perasaan bersalahnya. Dia selalu murung,
kadang menangis sendiri. Untuk membujuknya makan susah sekali. Setiap hari dia
hanya berdiam diri disana.”
“Kasihan sekali....” Jawabku mengiba.
“Iya, padahal dia ganteng loh... kamu mau lihat?”
“Boleh... tapi dia nggak membahayakan saya kan?”
“Tidak, tenang saja. Pasti dia hanya senyum setiap orang
lain memandangnya, setelah itu memejamkan matanya lagi dan menangis. Sekarang saya
harus membujuk dia supaya mau makan.”
“Baik....” aku melangkahkan kakiku menuju arah lelaki itu
bersama perawat yang membawa makanan untuk lelaki itu. Sepertinya aku mengenali
sosok lelaki itu setelah aku semakin dekat. Perawat itu menepuk pundak lelaki
itu, dan lelaki itupun terkejut dan menoleh ke belakang. Sungguh terkejut aku
melihat siapa yang ada dihadapan aku ini. Tiba-tiba dia memegangi kepalanya yang
terasa sakit dan berteriak-teriak. Aku ketakutan, tapi setelah itu Rahes tenang
dan menatapku dengan lemah.Aku tak bisa berkata apa-apa, aku meneteskan air
mata, sampai akhirnya dia memanggil namaku.
“Ingka....” Panggilnya.
“Ra... hes...” Jawabku tersedu-sedu.
“Kalian sudah saling kenal?” Tanya Perawat itu.
“Suster, bisa tinggalkan kita berdua disini?” Pinta
Rahes.
“Iya....tapi kamu tidka apa-apakan?” Perawat itu menjauhi
aku dan Rahes, tapi aku tahu perawat itu mengawasiku.
Aku terpaku memandang wajah pucatnya. Orang yang dulu aku
cinta, mungkin sampai saat ini masih ku cinta kini berdiri dihadapanku di
tempat yang menurutku aneh. Aku ingin bertanya kenapa dia bisa jadi begini. Tapi
aku hanya bisa menangis dan trus menangis. Rahes memandangku dengan penuh
cinta, dan menghapus setiap air mata yang jatuh di pipiku.
“Jangan menangis, aku nggak apa-apa.”
“A..ku... kenapa kamu jadi begini?” Tanyaku.
“Maafkan aku Ingka...”
“Apa ini semua karna aku?”
“Sejak kamu memutuskan hubungan kita. Aku mencarimu, tapi
aku tidak bisa menemukanmu, sejak saat itu perasaan bersalah ini muncul sampai
aku tidak bisa mengendalikannya. Setiap orangtuaku bertanya aku selalu
marah-marah dan melemparkan barang-barang dirumah. Sejak saat itu aku
dimasukkan ke sini.”
“Maafin aku Rahes...”
“ Harusnya aku yang minta maaf Ingka, aku belum sempat
menjelaskan tentang hubunganku dengan Ine.”
“A...ku...”
“Aku tahu, dulu kamu sakit hati.... aku tidak bermaksud
untuk membuatmu cemburu. Aku dan Ine hanya berteman, kamu tahu kalau sekarang
Ine sudah bertunangan dengan sepupuku.”
“Belum...” Aku masih menangis.
“Ingka.... maafkan aku.”
“Rahes.....aku sudah memaafkan kamu.”
“Mungkin setelah kamu memaafkanku, aku bisa menjadi lebih
tenang.”
Belum sempat aku bercerita dengang Rahes, Sepupuku datang
bersama Riko.
“Ingka.... kamu kenal dengan Rahes?” Tanya Riko.
“Iya....”
“Rahes... sepertinya kamu sudah sembuh...”
“Iya dokter....”
“Bisa tinggalkan kami berdua dulu?” jawabku.
“Kalian ada masalah?” Tanya Riko.
“Aku mau menyelesaikan semua yang tertunda.”
“Baik...”
Aku melanjutkan perbincangan yang sempat tertunda bersama
Rahes. Aku menatap dia penuh dengan rasa cinta yang aku miliki. Aku mencintainya
apa adanya.
“Ingka.. apakah kamu sudah menemukan pendampingmu?” Tanya
Rahes menyadarkanku.
“Belum, entah kenapa aku tidak bisa melupakan sosok kamu
dalam hidupku.”
“Ingka... apa kamu masih mau denganku, sedangkan aku
pernah berada di rumah sakit jiwa, dimana seluruh orang menyangka aku gila.”
“Aku tak perduli kamu pernah di rumah sakit jiwa atau
dimanapun. Yang aku tahu aku mencintaimu dan kamu mencintaiku.” Aku memeluk
tubuh Rahes yang sudah agak kurus, aku merasakan dekapannya itu, bisikkannya. Apa
yang terjadi pada mimpiku semalam, kini aku berhadapan dengan Rahes, memelukku
dan mencium keningku. Ini kenyataan. Aku menyuapi Rahes, dan meminumkannya
obat.
Dia tertidur pulas dalam pangkuanku. Riko yang menangani
Rahes menghampiriku bersama perawat dan sepupuku. Aku mengusap rambutnya, aku
belai wajahnya, menandakan aku sangat merindukannya. Aku berharap rahes cempat
sembuh.
“Ingka... apakah kamu wanita yang selama ini membuat dia
merasa bersalah?” Tanya Riko.
“Iya Mas, aku juga nggak tahu kejadiannya akan seperti ini.
menurut pantauan mas apakah Rahes bisa sembuh?”
“ Rahes sebenarnya tidak gila, hanya dia depresi ringan
ketika dia mengingat kesalahannya kepadamu. Dia akan berontak dan tidak bisa
dikendalikan. Selama dua tahun belakangan ini dia berada disini, orangtuanya
sibuk sehingga jarang sekali menjenguknya.”
“Mas, Rahes bisa sembuhkan?”
“Seperti yang mas bilang, Dia sudah sembuh.”
“Rahes bisa pulang kan mas?”
“Bisa, nanti kita akan menghubungi orangtuanya dulu, dan
setelah itu di cek kesehatannya. Dan kalau semuanya sudah beres, bisa dibawa
pulang.”
“Mas tolongin aku ya...”
“Iya.. pasti.”
Keesokan harinya, aku menjemput Rahes bersama
orangtuanya. Semua prosedur sudah dilalui, kesehatan sudah di cek dan hasilnya seratus
persen sudah sembuh. Rahes di perbolehkan pulang. Aku tidak pernah menyangka
kalau cinta Rahes terhadapku begitu besar. Aku juga tidak menyangka kenapa
selama ini aku bertahan dengan status jombloku, apakah ini juga karena aku
mencintai Rahes.
Biarlah orang lain berkata apa tentang Rahes. Yang pasti
aku mencintai Rahes apa adanya dia, dan hatiku telah memilihnya. Dia berada di
tempat itu adalah sebuah keadaan. Aku tulus mencintai Rahes.
“Makasih kamu sudah mendampingi aku...”
“Iya...”
“Terimakasih kamu sudah tulus menyayangiku.”
“Iya...”
‘Terimakasih kamu...”
“Iya...” Jawabku memotong pembicaraan rahes.
“Memangnya kamu tahu apa yang akan aku katakan?”
“Tahu....apa yang kamu rasakan aku juga dapat
merasakannya.”
“Sok tau.....makasih kamu sudah mencintai aku.”
“Iya sayang...”
Membutuhkan keberanian dan kekuatan untuk mengakui aku
mencintai Rahes. Keteguhan hatiku telah membunuh semua asumsi semua orang kepada
Rahes. Cintailah seseorang dengan tulus, meskipun ada kisah di masa lalu yang
sulit untuk di terima. Kini aku tahu mencintai itu seperti apa, menerima
seseorang apa adanya tanpa memandang siapa dia. Rahes I Love You.
The End....