oleh: Fidri Yuliyana,A.Md ( Fidri Candlelight)
DUNIA
TAK MERESTUI KITA
Aku merasa dunia kejam kepadaku, aku merasa aku tidak
berhak bahagia di dunia ini. apa salahkah jika aku mencintainya. Aku mencintai
seorang gadis yang berumur 17 tahun. Ketika itu aku berumur 30 tahun. Jarak
umur yang cukup jauh sebenarnya, tapi tak menghalangi cinta kita berdua. Namaku
Fikar, aku bekerja di sebuah bengkel sebagai mekanik. Aku memang sudah pernah
menikah, tapi istriku menceraikanku setelah satu tahun menikah, karena aku
tidak bisa memberikan apa yang dia inginkan. Aku hanya karyawan biasa yang
hidup pas-pasan.
Ketika itu aku sedang sepi pelanggan. Aku bisa bersantai
dengan teman-teman yang lainnya. Disinilah aku berkenalan dengan seorang gadis
belia itu, gadis SMA yang bernama Dinda. Cantik, dan sepertinya anak orang yang
berada. Ban Motornya bocor di tengah jalan, dan mengiringnya ke bengkel tempat
aku bekerja bersama temannya.
“Mas, tolong di tambal.”
“Iya neng...” Jawabku. Aku mengerjakan pekerjaanku. Dinda
dan temannya duduk di kursi tempat saya duduk tadi. Aku mulai mengajaknya
berbicara.” Pulang sekolah ya Neng?”
“Iya Mas...”
“Namanya siapa neng?” Aku memberanikan diri untuk
menanyakan namanya.
“Dinda Mas, teman saya Ike.”
“Saya Fikar.” Jawabku. Aku terus mengajak mereka ngobrol
sampai pekerjaanku selesai, ternyata Dinda anak yang baik yang mau berteman
dnegan siapa saja. Aku bisa melihat itu dari sikap dan bicaranya. Aku menyukai
Dinda, tapi aku tahu diri mana mau seorang gadis belia itu dengan Duda seperti
aku, apalagi aku hanya bekerja di sebuah bengkel.”Sudah neng...”
“Makasih ya Mas Fikar.” Dinda memberikan selembar uang
lima puluh ribu rupiah.
Sebenarnya pertemuan itu sangat singkat. Sesingkat
hubungan kami. Pertemuan selanjutnya terjadi saat aku pulang dari kerja, aku
berjalan menyusuri gang-gang, maklum aku hanya bisa mengontrak rumah yang
sederhana, dan itu cukup untukku seorang diri. Ketika aku melewati halte Aku
melihat seorang yang ku kenal duduk sendirian di Halte. Aku berhenti tepat di
depan Halte.
“Neng Dinda ya?” Sapaku.
“Iya....mas yang kerja di bengkel itu ya?”
“Iya, Fikar.”
“Iya Mas fikar.”
“Ngapain disini?”
“Nungguin Bus, tapi dari tadi penuh semua. Hari sudah
semakin sore, aku takut pulang.”
“Memangnya neng nggak bawa motor?”
“Nggak....”
“Rumah Neng dimana?”
“Jalan Cempaka.”
“Kalau saya antar saja bagaimana?” Tawarku.
“Nggak usah, ngerepotin mas.”
“Nggak apa-apa, dari pada disini sendirian. Sekarang lagi
marak geng motor.”
“Iya dech...” Jawab Dinda.
Aku mengantarkan Dinda pulang kerumahnya, sebenarnya jauh
dari rumah kontrakanku, tapi nggak apa-apa aku kasihan melihat Dinda sendirian
di Halte Bus. Kami tak banyak bicara sich, hanya sesekali menanyakan sesuatu.
“Neng Dinda, kenapa mau saya antar? Apa neng nggak takut
sama saya?”
“Nggak, saya merasa Mas orangnya baik. O iya Mas sudah
menikah?” Dinda melontarkan pertanyaan itu.
“Sudah, tapi sudah bercerai.”
“Maaf ya Mas.”
“Ngga apa-apa..” JawabKu.
Tak berapa lama sampailah dirumah Dinda. Aku pamit pulang
setelah Dinda mengucapka terimakasih kepadaku dan menyuruhku mampir. Sesampai
dirumah, aku masih membayangkan wajahnya Dinda yang cantik dan senyumannya yang
tulus. Apakah ini cintaku, tapi aku tidak mau berharap lebih karena belum tentu
Dinda menyukaiku. Aku menghapus semua tentang Dinda dalam fikiranku.
Kenyataan lain, waktu selalu mempertemukan kami. Aku dan
Dinda selalu ada waktu untuk bertemu, apakah Allah merestui aku dan Dinda.
Dindapun merasa bahagia ketika bertemu denganku, perasaanku semakin tak bisa
aku kendalikan, aku merasakan kekuatan yang kuat untuk menyatakan perasaanku
pada Dinda. Ketika itu Dinda main ke tempat kerjaku dan mengajak makan siang.
“Mas, ada waktu untuk makan siang bersamaku?” Tanya
Dinda.
“Tentu...aku siap-siap dulu.”
“Baik, aku tunggu disini.”
Dinda masih mengenakan baju seragamnya, aku merasa
deg-degan makan siang bareng Dinda. Kami makan di sebuah warung ampera, disana
aku mengungkapakan perasaanku kepada Dinda, aku nggak tahu apakah Dinda akan
beri reaksi apa.
“Neng Dinda...”
“Iya Mas !”
“Aku mau ngomong...”
“Ngomong apa mas?”
“Tapi Neng janji nggak akan marah?”
“Iya....”
“Neng udah punya pacar?”
“Nggak ada, baru putus. Memangnya kenapa Mas?” Tanya
Dinda.
“A..ku...” aku gugup ketika Dinda menatapku dengan
pancaran sinar yang membuat aku semakin mencintainya.” Mungkin aku nggak pantas
untuk mengatakan ini, tapi aku mau bilang aku suka sama Neng Dinda.”
“Apa mas?”
“Maaf Neng...nggak bermaksud membuat Neng kaget.”
“Nggak apa-apa Mas.” Dinda terhenti sejenak dan kemudian
melanjutkan perkataannya.” Aku juga suka sama Mas, aku nyaman ketika aku jalan
dengan Mas. Aku merasa ada orang yang selalu menjagaku ketika Mas Fikar di
sampingku. Mungkin perbedaan umur kita terlalu jauh, tapi aku nggak masalah
asalkan Mas benar mencintaiku dengan tulus.”
“Neng juga suka sama Saya?”
‘Iya...”
“Aku akan selalu menjaga Neng Dinda.”
Hari yang sangat membuatku bahagia, Dinda menerimaku.
Sejak saat itu, aku selalu menjemput Dinda pulang dari sekolah dan
mengantarkannya pulang. Dinda juga tidak keberatan dengan mengenalkanku dengan
teman-temannya. Aku sungguh tidak menyangka Dinda punya jiwa yang tulus, dia
bisa menerima statusku sebagai seorang Duda. Aku tahu mungkin Dinda mendapatkan
olok-olokan dari teman-temannya, tapi dengan tegar dan senyuman Dinda selalu
membuatku tak mengkhawatirkannya.
Hal yang aku takutkan adalah keluarganya Dinda, apakah
keluarganya Dinda bisa menerimaku dengan statusku seorang duda dan aku juga
hanya bekerja di sebuah bengkel. Hal yang aku takutkan terjadi juga. Ketika itu
aku mengantarkan Dinda pulang dari rumah temannya, kebetulan malam itu Dinda
belajar kelompok. Aku di suruh mampir oleh Dinda berkenalan dengan Orangtuanya.
Aku duduk di teras rumah, Ibu dan Ayah Dinda keluar menegur kami.
“Dinda...”
“Ibu, Ayah... kenalin ini Mas Fikar.”
“Fikar.” Aku mencium tangan Ibu dan Ayah Dinda. Tapi
respon yang kurang baik aku dapatkan di awal bertemu.
“Aku mau ambil minum dulu ya Mas.”
“Iya...” Jawabku. Dinda berlalu masuk kedalam rumah, Ayah
dan Ibunya Dinda duduk di dekatku. Aku mulai di introgasi.
“Fikar, usiamu berapa? Pekerjaanmu dan tinggal dimana?”
Ayah Dinda memburu pertanyaan kepadaku.
“Saya Umur 30, saya bekerja di sebuah bengkel. Disini
saya tinggal ngontrak di jalan Pasir Putih. Kebetulan saya anak yatim piatu
saya tinggal sendirian.”
“Kamu kenal Dinda dimana?Apa kamu belum menikah?”
“Ketika dinda ke bengkel saya Pak. Saya sudah pernah
menikah pak, dan itu hanya berjalan setahun. Sekarang saya sudah bercerai.” Aku
menceritakan kepribadianku. Aku tidak mau menutupi statusku.
‘Kamu tahu kalau Dinda masih SMA.?” Suara ayah Dinda
semakin meninggi
‘Tahu pak.”
“Umur kalian jauh berbeda, Dinda masih muda dan masih
banyak yang ingin di raihnya.”
“Saya tahu Pak...”
“Kalau begitu, kau fikirkanlah lagi berhubungan dengan
putri saya.”
‘Tapi Pak...”
“Sudah, sebaiknya kau pulang saja.”
“Baik Pak, sampaikan kepada Dinda saya pamit pulang Pak.”
“Iya...” aku pulang menaiki motor bututku. Aku pulang
dengan perasaan campur aduk, aku tidak tahu harus melakukan apalagi. Apakah aku
sanggup kehilangan Dinda, dan bagaimana aku bisa menghadapi orangtua Dinda yang
tidak menyukaiku. Apakah perbedaan usia itu sebuah kesalahan? Apakah statusku
seorang Duda juga kesalahan? Tuhan kalau memang iya, katakan kepadaku apa yang
harus aku lakukan?.
Malam itu, Dinda menanyakan kenapa aku pulang tidak
pamit. Aku tidak menanngapi pertanyaan yang di tujukan kepadaku. Aku hanya
bilang besok kita ketemuan di sekolahnya. Aku sudah memutuskan, mungkin kisah
ini singkat dan tak membuat Dinda akan tersakiti. Mungkin orangtua Dinda benar,
dia tidak ingin melihat anaknya sengsara hidup denganku. Dinda masih muda dan
punya masa depan.
Ketika itu aku menunggu Dinda di depan gerbang sekolah.
Aku bertemu dengan temannya Ike, dan menanyakan keberadaan Dinda.
“Ike, Dinda mana?”
“Mas Fikar, Dinda ada di dalam.sebentar lagi keluar.”
“Terimakasih.”
Aku mendengar percakapan Ike dan teman-teman Dinda yang
lainnya.”Dinda kok mau ya sama cowok itu, kayak nggak laku aja. Apa bagusnya
sich cowok itu. Udah Duda dan nggak gaul banget.” Salah satu teman Dinda
mengejekku, aku bertambah yakin kalau aku harus memutuskan hubungan dengan
Dinda, karena aku nggak mau Dinda terbebani dengan hubungan ini. Dinda keluar
dengan senyuman. Seperti biasa Dinda mencium tanganku setiap bertemu.
“Udah lama Mas?”
“Baru saja..” Jawabku dengan dinginnya.
“Kenapa mas? Dari semalam aneh?” Tanya Dinda.
“Dinda.”
“Ada masalah Mas?”
“Aku memutuskan untuk....”
‘Apa Mas?’
“Kita jalan sendiri-sendiri dulu. Aku harus memikirkan
masa depanku, begitupun kamu, kamu juga harus memikirkan masa depanmu. Kamu
masih muda dan pasti banyak yang ingin kamu capai.”
“Tapi masalahnya apa mas?”
“A...ku mau balikan lagi dengan mantan istriku.” Aku
berbohong.
“Apa???” Dinda menangis, sebenarnya aku tidak tega
melihat Dinda menangis. Tapi aku harus melakukan itu demi kebahagiaan Dinda.
“Neng... mungkin Dunia tidak merestui kita.” Aku mengucapkan
kalimat terakhir pada Dinda,setelah itu aku pergi dari hadapan Dinda yang masih
membisu. Hatiku ini juga sakit ketika memutuskan ini. tapi aku harus melakukan
itu.
Aku menjalani hari-hariku yang sepi tanpa kehadiran
Dinda. Aku tidak menyangka Dinda datang ke bengkelku dengan membawa koper dan
menangis tersedu-sedu. Aku bingung dengan apa yang dilakukan Dinda.
“Kamu mau kemana Neng?”
“Aku sudah tahu mas, ayah kan yang menyuruh kamu
menjauhiku?”
“Buk...an..” JawabKu gugup.
“Jujurlah mas. Kamu tidak berniat kembali pada mantan
istrimu kan? Ayah yang menyuruh kamu menjauhi aku? Jawab Mas?” Dinda menangis
tak henti-hentinya.
“A..ku, maafkan aku Neng.”
“Bawa aku lari dari sini mas.”
“Bukan ini yang aku mau Neng, aku inginkan dirimu
baik-baik Neng.”
“Ketika baik-baik tak jadi pilihan, kamu harus lakukan
cara yang lain mas.”
“Neng.. aku nggak bisa...” Belum selesai aku bicara,
keluarga dan teman-temannya Dinda datang ke bengkelku. Ayahnya marah-marah
karena meyangka aku menyebabkan Dinda kabur dari rumah. Aku semakin bingung apa
yang harus aku lakukan. Ingin ku pertahankan karena Dinda memintaku untuk
bertahan. Di sisi lain ingin ku akhiri ketika aku ingat masa depan Dinda.
“Kamu akan saya laporkan kepada Polisi, karena telah
menculik anak di bawah umur.” Ayah Dinda menarik dinda untuk pulang. Aku
menahan tangan Dinda dengan sekuat tenaga, tapi aku harus melepaskannya
pelan-pelan agar Dinda tidak sakit.
“Ayah...aku berhak menentukan pilihanku.”
“Pilihan kamu yang mana? Mas Fikar Mu ini?”
“Udah lah Dinda, kita pulang sekarang.” Ibunya
menenangkan Dinda.
“Nggak mau Bu...”
“Dinda...kamu nggak pantes dengan mas Fikar.” Teman-teman
Dindapun ikut berkomentar.
“Kenapa dunia ini tidak merestui aku dan mas Fikar?
Kenapa?? Apa salah aku mencintai mas fikar, toh mas fikar baik kepadaku.” Dinda
menangis dengan tersedu-sedu.
“Kamu diam Dinda.” Ayahnya mulai membentak, pemilik
bengkelpun terkejut dibuatnya dengan keributan yang terjadi. “Buat kau Fikar,
jangan pernah temui anak saya lagi, dan saya harap kau akan pergi dari kota
ini.”
“Sabar pak ini bisa di bicarakan baik-baik.” Kata pemilik
bengkel.
“Kau siapa?”
“Pemilik bengkel ini.”
“Baik, aku beri dua pilihan. Kau pecat si Fikar atau
bengkel ini saya laporkan kepada polisi?”
“Maafkan saya Pak...” Pemilik bengkel bingung. Aku tahu,
aku memutuskan untuk berbicara.
“Biarkan saya yang pergi Pak.” Aku mengemasi
barang-barangku. Kulangkahkan kakiku dan melihat wajah sendunya Dinda. Mungkin
kisahku berakhir disini. Aku mengucapkan selamat tinggal untuk Dinda.
“Mas Fikar...” Dinda berteriak dan melepaskan genggaman
tangan ibunya, dan berlari menujuku, tiba-tiba mobil dengan kecepatan kencang
menghantam tubuh Dinda. Aku menyaksikan orang yang aku cintai tertabrak mobil.
Aku histeris dan memeluk tubuh Dinda yang berlumuran darah. Pertolongan belum
kunjung datang.
“Dinda......” Pekikku.
“Ma...s fi..kar... maafin Dinda.”
“Neng, aku yang salah, maafin aku. Harusnya aku tidak
meninggalkan Neng sendirian disini. Harusnya aku memperjuangkan cinta kita, bukan
melarikan diri seperti ini...” Aku menangis. Keluarga dan teman-teman Dinda
menghampiri tubuh Dinda yang aku pangku.
“Ay..ah, I..Bu. maafin Dinda ya. Dinda mencintai Mas
Fikar.”
“Kamu harus segera di bawa kerumah sakit.”
“Nggak u..sah ayah. Dinda Cuma ingin di peluk sama Mas
Fikar untuk terakhir kalinya. Dinda Tahu kalau dunia ini tidak merestui Dinda
dan Mas Fikar untuk bersatu, tapi Dinda yakin Allah merestui kami berdua.
Buktinya Allah akan segera mengambil Dinda.”
“Dinda kamu jangan bicara seperti itu...”
“Maafkan Dinda...!! Mas Fikar ...Dinda tunggu mas di
syurga ya. Dimana Allah merestui kita berdua. Buat Ayah dan Ibu, maafin Dinda
yang tidak mau nurut...” Dinda telah menghembuskan nafas terakhirnya di
pangkuanku. Aku tidak menyangka cinta sesingkat ini. aku tidak menyangka Dinda
berlalu pergi dariku.
Apakah ini suatu penyesalan bagiku? Ataukah ini suatu takdir
yang harus aku jalani. Aku tidak tahu kenapa dunia tidak mengizinkan aku
bersama, apakah salah aku mencintai Dinda yang umurnya jauh di bawahku. Tapi
benar kata Dinda, dunia memang tidak merestui kita, tapi Allah telah merestui
kita. Aku akan selalu menjaga cinta kamu Dinda. Sampai aku akan kembali
kepangkuanMu di Syurga.
The End...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar