waroengbacafidri

Senin, 07 Mei 2012

CerPen: Cinta Apa Adanya


Oleh : Fidri Yuliyana,A.Md(Fidri Candlelight)
Cinta Apa Adanya

            Aku tak pernah menyangka semua ini akan terjadi. Aku juga tidak menyangka dia mencintaiku seperti itu. Awal pertama bertemu aku sudah jatuh cinta padanya, begitupun dia, dia juga mencintaiku sama seperti aku mencintai dirinya. Perkenalan yang singkat, membuat aku tidak mengerti banyak tentang dirinya. Aku orangnya cemburuan, aku cemburu kalau cewek-cewek lain nempel dengannya. Aku tahu dia hanya membuat aku cemburu. Dia paling senang membuat aku cemburu.
            Suatu ketika kesabaranku habis, aku nggak masalah dia membuat aku cemburu. Tapi ini sudah kelewatan, dia bermain api dengan sahabatku sendiri. Ketika aku tanya mereka berdua hanya senyum-senyum. Hari itu juga aku memutuskan hubungan dengannya.
            “Sekali lagi aku tanya sama kamu, kamu suka sama Ine?” Tanyaku.
            “Cemburu ya...?” Godanya.
            “Okey... kalau kamu nggak mau jawab aku. Jangan pernah temui aku lagi.”
            “Sayang... dengerin aku dulu.”
            “Aku udah capek Rahes, kamu selalu membuat aku cemburu buta.”
            “Aku nggak maksud begitu. Aku sayang sama kamu.”
            “Sekarang kita jalan masing-masing dulu, aku mau intropeksi diri dulu.” Aku berlalu pergi...”
            “Ingka.....” Panggil Rahes. Aku tak menghiraukan dia. Aku kecewa dengan Rahes. Aku mau menenangkan fikiranku dulu, kebetulan aku libur kuliah selama dua bulan. Aku bisa pergi ke luar kota untuk refresing. Aku mengganti nomor handPhoneku, tak ada satupun yang tahu nomor Handphoneku selain keluarga.
            Aku menemukan hidupku yang baru, aku merasa tenang di kota ini. Aku memutuskan untuk pindah kuliah. Mamaku setuju, akupun mengurus surat kepindahanku ke kota ini. Aku mendapatkan teman-teman baru. Aku tidak tahu lagi kabar Rahes dan Ine, aku berusaha untuk melupakan Rahes. Memang sulit untuk melupakan orang yang dicintai.
            Berbulan-bulan aku tak mendnegar kabar Rahes, akupun sudah lupa dengan dirinya. Tapi entah kenapa aku tidak bisa mencari pengganti dirinya di kota ini. Aku nggak bisa menjalin hubungan dengan orang lain, aku terus merasa tidak ada kecocokan di antara mereka yang PeDeKaTe sama aku.
            Dua tahun sudah berlalu, aku telah di wisuda. Aku ingin mengabdikan diriku ke tanah kelahiranku. Aku kembali ke rumah orangtuaku. Kota yang telah lama aku tinggalkan. Ketika aku sampai dirumah karena lelah aku tertidur lelap. Ketika itu aku bermimpi Rahes datang kepadaku, memanggilku dan memelukku dengan erat. Tak ada kata hanya kehangatan cintanya yang kurasakan. Aku terbangun dari mimpi itu. Kenapa setelah sekian lama Rahes datang lagi dalam mimpiku.  Kenapa aku belum bisa melupakannya?.
            Ketika itu aku di ajak oleh sepupuku menemui pacarnya yang sedang dinas di Rumah Sakit jiwa. Sebenarnya aku takut sich, tapi sepupuku memohon untuk menemaninya.
            “Ingka, kali ini aja...Please.”
            “Iya dech... bawel.”
            Aku dan sepupuku telah tiba di Rumah Sakit Jiwa, aku merasa ngeri aja nanti ada orang gila yang menghampiriku. Aku sedikit takut. Aku  melangkahkan kaki masuk keruangan itu. Aku melihat banyak orang yang jiwanya terganggu berada di taman. Tapi aku menemukan sosok yang membuat aku penasaran. Dia sendirian menepi di taman, tak tampak seperti orang gila lainnya. Mataku masih tertuju kepadanya. Entah apa yang membuatku melangkahkan kakiku kearahnya.
            “Ingka, aku menemui riko dulu ya.” Sepupuku menyadarkanku.
            “Iya...” Jawabku. Aku terhenti sejenak memandangi dia dari belakang. Ketika itu aku di kejutkan oleh perawat yang ada disana.
            “Mau kemana dek?”
            “Maaf suster, saya mau....” aku gugup menjawabnya.
            “Kamu pasti melihat laki-laki yang duduk disana?”
            “I..ya...” Jawabku.
            “Dia sebenarnya tidak gila.”
            “Kalau tidak gila, ngapain disini?” Tanyaku keheranan.
            “Dia hanya depresi ringan. Dia di tinggal sama pacarnya.”
            “Ngeri juga ya suster.”
            “Iya... orangtuanya membawa dia kesini, karena kamarnya selalu berantakkan, kalau dia ingat pacarnya yang telah meninggalkannya. Dia merasa bersalah telah mengkhianati pacarnya, dan itu menimbulkan kejiwaannya sedikit terganggu. Orang tuanya sibuk dan tidak bisa mengurusinya.”
            “Apa bisa di sembuhkan suster?”
            “Bisa, kalau dia bisa mendapatkan maaf dari pacarnya, karena selama ini dia terbebani oleh perasaan bersalahnya. Dia selalu murung, kadang menangis sendiri. Untuk membujuknya makan susah sekali. Setiap hari dia hanya berdiam diri disana.”
            “Kasihan sekali....” Jawabku mengiba.
            “Iya, padahal dia ganteng loh... kamu mau lihat?”
            “Boleh... tapi dia nggak membahayakan saya kan?”
            “Tidak, tenang saja. Pasti dia hanya senyum setiap orang lain memandangnya, setelah itu memejamkan matanya lagi dan menangis. Sekarang saya harus membujuk dia supaya mau makan.”
            “Baik....” aku melangkahkan kakiku menuju arah lelaki itu bersama perawat yang membawa makanan untuk lelaki itu. Sepertinya aku mengenali sosok lelaki itu setelah aku semakin dekat. Perawat itu menepuk pundak lelaki itu, dan lelaki itupun terkejut dan menoleh ke belakang. Sungguh terkejut aku melihat siapa yang ada dihadapan aku ini. Tiba-tiba dia memegangi kepalanya yang terasa sakit dan berteriak-teriak. Aku ketakutan, tapi setelah itu Rahes tenang dan menatapku dengan lemah.Aku tak bisa berkata apa-apa, aku meneteskan air mata, sampai akhirnya dia memanggil namaku.
            “Ingka....” Panggilnya.
            “Ra... hes...” Jawabku tersedu-sedu.
            “Kalian sudah saling kenal?” Tanya Perawat itu.
            “Suster, bisa tinggalkan kita berdua disini?” Pinta Rahes.
            “Iya....tapi kamu tidka apa-apakan?” Perawat itu menjauhi aku dan Rahes, tapi aku tahu perawat itu mengawasiku.
            Aku terpaku memandang wajah pucatnya. Orang yang dulu aku cinta, mungkin sampai saat ini masih ku cinta kini berdiri dihadapanku di tempat yang menurutku aneh. Aku ingin bertanya kenapa dia bisa jadi begini. Tapi aku hanya bisa menangis dan trus menangis. Rahes memandangku dengan penuh cinta, dan menghapus setiap air mata yang jatuh di pipiku.
            “Jangan menangis, aku nggak apa-apa.”
            “A..ku... kenapa kamu jadi begini?” Tanyaku.
            “Maafkan aku Ingka...”
            “Apa ini semua karna aku?”
            “Sejak kamu memutuskan hubungan kita. Aku mencarimu, tapi aku tidak bisa menemukanmu, sejak saat itu perasaan bersalah ini muncul sampai aku tidak bisa mengendalikannya. Setiap orangtuaku bertanya aku selalu marah-marah dan melemparkan barang-barang dirumah. Sejak saat itu aku dimasukkan ke sini.”
            “Maafin aku Rahes...”
            “ Harusnya aku yang minta maaf Ingka, aku belum sempat menjelaskan tentang hubunganku dengan Ine.”
            “A...ku...”
            “Aku tahu, dulu kamu sakit hati.... aku tidak bermaksud untuk membuatmu cemburu. Aku dan Ine hanya berteman, kamu tahu kalau sekarang Ine sudah bertunangan dengan sepupuku.”
            “Belum...” Aku masih menangis.
            “Ingka.... maafkan aku.”
            “Rahes.....aku sudah memaafkan kamu.”
            “Mungkin setelah kamu memaafkanku, aku bisa menjadi lebih tenang.”
            Belum sempat aku bercerita dengang Rahes, Sepupuku datang bersama Riko.
            “Ingka.... kamu kenal dengan Rahes?” Tanya Riko.
            “Iya....”
            “Rahes... sepertinya kamu sudah sembuh...”
            “Iya dokter....”
            “Bisa tinggalkan kami berdua dulu?” jawabku.
            “Kalian ada masalah?” Tanya Riko.
            “Aku mau menyelesaikan semua yang tertunda.”
            “Baik...”
            Aku melanjutkan perbincangan yang sempat tertunda bersama Rahes. Aku menatap dia penuh dengan rasa cinta yang aku miliki. Aku mencintainya apa adanya.
            “Ingka.. apakah kamu sudah menemukan pendampingmu?” Tanya Rahes menyadarkanku.
            “Belum, entah kenapa aku tidak bisa melupakan sosok kamu dalam hidupku.”
            “Ingka... apa kamu masih mau denganku, sedangkan aku pernah berada di rumah sakit jiwa, dimana seluruh orang menyangka aku gila.”
            “Aku tak perduli kamu pernah di rumah sakit jiwa atau dimanapun. Yang aku tahu aku mencintaimu dan kamu mencintaiku.” Aku memeluk tubuh Rahes yang sudah agak kurus, aku merasakan dekapannya itu, bisikkannya. Apa yang terjadi pada mimpiku semalam, kini aku berhadapan dengan Rahes, memelukku dan mencium keningku. Ini kenyataan. Aku menyuapi Rahes, dan meminumkannya obat.
            Dia tertidur pulas dalam pangkuanku. Riko yang menangani Rahes menghampiriku bersama perawat dan sepupuku. Aku mengusap rambutnya, aku belai wajahnya, menandakan aku sangat merindukannya. Aku berharap rahes cempat sembuh.
            “Ingka... apakah kamu wanita yang selama ini membuat dia merasa bersalah?” Tanya Riko.
            “Iya Mas, aku juga nggak tahu kejadiannya akan seperti ini. menurut pantauan mas apakah Rahes bisa sembuh?”
            “ Rahes sebenarnya tidak gila, hanya dia depresi ringan ketika dia mengingat kesalahannya kepadamu. Dia akan berontak dan tidak bisa dikendalikan. Selama dua tahun belakangan ini dia berada disini, orangtuanya sibuk sehingga jarang sekali menjenguknya.”
            “Mas, Rahes bisa sembuhkan?”
            “Seperti yang mas bilang, Dia sudah sembuh.”
            “Rahes bisa pulang kan mas?”
            “Bisa, nanti kita akan menghubungi orangtuanya dulu, dan setelah itu di cek kesehatannya. Dan kalau semuanya sudah beres, bisa dibawa pulang.”
            “Mas tolongin aku ya...”
            “Iya.. pasti.”
            Keesokan harinya, aku menjemput Rahes bersama orangtuanya. Semua prosedur sudah dilalui, kesehatan sudah di cek dan hasilnya seratus persen sudah sembuh. Rahes di perbolehkan pulang. Aku tidak pernah menyangka kalau cinta Rahes terhadapku begitu besar. Aku juga tidak menyangka kenapa selama ini aku bertahan dengan status jombloku, apakah ini juga karena aku mencintai Rahes.
            Biarlah orang lain berkata apa tentang Rahes. Yang pasti aku mencintai Rahes apa adanya dia, dan hatiku telah memilihnya. Dia berada di tempat itu adalah sebuah keadaan. Aku tulus mencintai Rahes.
            “Makasih kamu sudah mendampingi aku...”
            “Iya...”
            “Terimakasih kamu sudah tulus menyayangiku.”
            “Iya...”
            ‘Terimakasih kamu...”
            “Iya...” Jawabku memotong pembicaraan rahes.
            “Memangnya kamu tahu apa yang akan aku katakan?”
            “Tahu....apa yang kamu rasakan aku juga dapat merasakannya.”
            “Sok tau.....makasih kamu sudah mencintai aku.”
            “Iya sayang...”
            Membutuhkan keberanian dan kekuatan untuk mengakui aku mencintai Rahes. Keteguhan hatiku telah membunuh semua asumsi semua orang kepada Rahes. Cintailah seseorang dengan tulus, meskipun ada kisah di masa lalu yang sulit untuk di terima. Kini aku tahu mencintai itu seperti apa, menerima seseorang apa adanya tanpa memandang siapa dia. Rahes I Love You.

The End....
  

CerPen: Dunia Tak Merestui Kita


oleh: Fidri Yuliyana,A.Md ( Fidri Candlelight)
 
DUNIA TAK  MERESTUI KITA
            Aku merasa dunia kejam kepadaku, aku merasa aku tidak berhak bahagia di dunia ini. apa salahkah jika aku mencintainya. Aku mencintai seorang gadis yang berumur 17 tahun. Ketika itu aku berumur 30 tahun. Jarak umur yang cukup jauh sebenarnya, tapi tak menghalangi cinta kita berdua. Namaku Fikar, aku bekerja di sebuah bengkel sebagai mekanik. Aku memang sudah pernah menikah, tapi istriku menceraikanku setelah satu tahun menikah, karena aku tidak bisa memberikan apa yang dia inginkan. Aku hanya karyawan biasa yang hidup pas-pasan.
            Ketika itu aku sedang sepi pelanggan. Aku bisa bersantai dengan teman-teman yang lainnya. Disinilah aku berkenalan dengan seorang gadis belia itu, gadis SMA yang bernama Dinda. Cantik, dan sepertinya anak orang yang berada. Ban Motornya bocor di tengah jalan, dan mengiringnya ke bengkel tempat aku bekerja bersama temannya.
            “Mas, tolong di tambal.”
            “Iya neng...” Jawabku. Aku mengerjakan pekerjaanku. Dinda dan temannya duduk di kursi tempat saya duduk tadi. Aku mulai mengajaknya berbicara.” Pulang sekolah ya Neng?”
            “Iya Mas...”
            “Namanya siapa neng?” Aku memberanikan diri untuk menanyakan namanya.
            “Dinda Mas, teman saya Ike.”
            “Saya Fikar.” Jawabku. Aku terus mengajak mereka ngobrol sampai pekerjaanku selesai, ternyata Dinda anak yang baik yang mau berteman dnegan siapa saja. Aku bisa melihat itu dari sikap dan bicaranya. Aku menyukai Dinda, tapi aku tahu diri mana mau seorang gadis belia itu dengan Duda seperti aku, apalagi aku hanya bekerja di sebuah bengkel.”Sudah neng...”
            “Makasih ya Mas Fikar.” Dinda memberikan selembar uang lima puluh ribu rupiah.
            Sebenarnya pertemuan itu sangat singkat. Sesingkat hubungan kami. Pertemuan selanjutnya terjadi saat aku pulang dari kerja, aku berjalan menyusuri gang-gang, maklum aku hanya bisa mengontrak rumah yang sederhana, dan itu cukup untukku seorang diri. Ketika aku melewati halte Aku melihat seorang yang ku kenal duduk sendirian di Halte. Aku berhenti tepat di depan Halte.
            “Neng Dinda ya?” Sapaku.
            “Iya....mas yang kerja di bengkel itu ya?”
            “Iya, Fikar.”
            “Iya Mas fikar.”
            “Ngapain disini?”
            “Nungguin Bus, tapi dari tadi penuh semua. Hari sudah semakin sore, aku takut pulang.”
            “Memangnya neng nggak bawa motor?”
            “Nggak....”
            “Rumah Neng dimana?”
            “Jalan Cempaka.”
            “Kalau saya antar saja bagaimana?” Tawarku.
            “Nggak usah, ngerepotin mas.”
            “Nggak apa-apa, dari pada disini sendirian. Sekarang lagi marak geng motor.”
            “Iya dech...” Jawab Dinda.
            Aku mengantarkan Dinda pulang kerumahnya, sebenarnya jauh dari rumah kontrakanku, tapi nggak apa-apa aku kasihan melihat Dinda sendirian di Halte Bus. Kami tak banyak bicara sich, hanya sesekali menanyakan sesuatu.
            “Neng Dinda, kenapa mau saya antar? Apa neng nggak takut sama saya?”
            “Nggak, saya merasa Mas orangnya baik. O iya Mas sudah menikah?” Dinda melontarkan pertanyaan itu.
            “Sudah, tapi sudah bercerai.”
            “Maaf ya Mas.”
            “Ngga apa-apa..” JawabKu.
            Tak berapa lama sampailah dirumah Dinda. Aku pamit pulang setelah Dinda mengucapka terimakasih kepadaku dan menyuruhku mampir. Sesampai dirumah, aku masih membayangkan wajahnya Dinda yang cantik dan senyumannya yang tulus. Apakah ini cintaku, tapi aku tidak mau berharap lebih karena belum tentu Dinda menyukaiku. Aku menghapus semua tentang Dinda dalam fikiranku.
            Kenyataan lain, waktu selalu mempertemukan kami. Aku dan Dinda selalu ada waktu untuk bertemu, apakah Allah merestui aku dan Dinda. Dindapun merasa bahagia ketika bertemu denganku, perasaanku semakin tak bisa aku kendalikan, aku merasakan kekuatan yang kuat untuk menyatakan perasaanku pada Dinda. Ketika itu Dinda main ke tempat kerjaku dan mengajak makan siang.
            “Mas, ada waktu untuk makan siang bersamaku?” Tanya Dinda.
            “Tentu...aku siap-siap dulu.”
            “Baik, aku tunggu disini.”
            Dinda masih mengenakan baju seragamnya, aku merasa deg-degan makan siang bareng Dinda. Kami makan di sebuah warung ampera, disana aku mengungkapakan perasaanku kepada Dinda, aku nggak tahu apakah Dinda akan beri reaksi apa.
            “Neng Dinda...”
            “Iya Mas !”
            “Aku mau ngomong...”
            “Ngomong apa mas?”
            “Tapi Neng janji nggak akan marah?”
            “Iya....”
            “Neng udah punya pacar?”
            “Nggak ada, baru putus. Memangnya kenapa Mas?” Tanya Dinda.
            “A..ku...” aku gugup ketika Dinda menatapku dengan pancaran sinar yang membuat aku semakin mencintainya.” Mungkin aku nggak pantas untuk mengatakan ini, tapi aku mau bilang aku suka sama Neng Dinda.”
            “Apa mas?”
            “Maaf Neng...nggak bermaksud membuat Neng kaget.”
            “Nggak apa-apa Mas.” Dinda terhenti sejenak dan kemudian melanjutkan perkataannya.” Aku juga suka sama Mas, aku nyaman ketika aku jalan dengan Mas. Aku merasa ada orang yang selalu menjagaku ketika Mas Fikar di sampingku. Mungkin perbedaan umur kita terlalu jauh, tapi aku nggak masalah asalkan Mas benar mencintaiku dengan tulus.”
            “Neng juga suka sama Saya?”
            ‘Iya...”
            “Aku akan selalu menjaga Neng Dinda.”
            Hari yang sangat membuatku bahagia, Dinda menerimaku. Sejak saat itu, aku selalu menjemput Dinda pulang dari sekolah dan mengantarkannya pulang. Dinda juga tidak keberatan dengan mengenalkanku dengan teman-temannya. Aku sungguh tidak menyangka Dinda punya jiwa yang tulus, dia bisa menerima statusku sebagai seorang Duda. Aku tahu mungkin Dinda mendapatkan olok-olokan dari teman-temannya, tapi dengan tegar dan senyuman Dinda selalu membuatku tak mengkhawatirkannya.
            Hal yang aku takutkan adalah keluarganya Dinda, apakah keluarganya Dinda bisa menerimaku dengan statusku seorang duda dan aku juga hanya bekerja di sebuah bengkel. Hal yang aku takutkan terjadi juga. Ketika itu aku mengantarkan Dinda pulang dari rumah temannya, kebetulan malam itu Dinda belajar kelompok. Aku di suruh mampir oleh Dinda berkenalan dengan Orangtuanya. Aku duduk di teras rumah, Ibu dan Ayah Dinda keluar menegur kami.
            “Dinda...”
            “Ibu, Ayah... kenalin ini Mas Fikar.”
            “Fikar.” Aku mencium tangan Ibu dan Ayah Dinda. Tapi respon yang kurang baik aku dapatkan di awal bertemu.
            “Aku mau ambil minum dulu ya Mas.”
            “Iya...” Jawabku. Dinda berlalu masuk kedalam rumah, Ayah dan Ibunya Dinda duduk di dekatku. Aku mulai di introgasi.
            “Fikar, usiamu berapa? Pekerjaanmu dan tinggal dimana?” Ayah Dinda memburu pertanyaan kepadaku.
            “Saya Umur 30, saya bekerja di sebuah bengkel. Disini saya tinggal ngontrak di jalan Pasir Putih. Kebetulan saya anak yatim piatu saya tinggal sendirian.”
            “Kamu kenal Dinda dimana?Apa kamu belum menikah?”
            “Ketika dinda ke bengkel saya Pak. Saya sudah pernah menikah pak, dan itu hanya berjalan setahun. Sekarang saya sudah bercerai.” Aku menceritakan kepribadianku. Aku tidak mau menutupi statusku.
            ‘Kamu tahu kalau Dinda masih SMA.?” Suara ayah Dinda semakin meninggi
            ‘Tahu pak.”
            “Umur kalian jauh berbeda, Dinda masih muda dan masih banyak yang ingin di raihnya.”
            “Saya tahu Pak...”
            “Kalau begitu, kau fikirkanlah lagi berhubungan dengan putri saya.”
            ‘Tapi Pak...”
            “Sudah, sebaiknya kau pulang saja.”
            “Baik Pak, sampaikan kepada Dinda saya pamit pulang Pak.”
            “Iya...” aku pulang menaiki motor bututku. Aku pulang dengan perasaan campur aduk, aku tidak tahu harus melakukan apalagi. Apakah aku sanggup kehilangan Dinda, dan bagaimana aku bisa menghadapi orangtua Dinda yang tidak menyukaiku. Apakah perbedaan usia itu sebuah kesalahan? Apakah statusku seorang Duda juga kesalahan? Tuhan kalau memang iya, katakan kepadaku apa yang harus aku lakukan?.
            Malam itu, Dinda menanyakan kenapa aku pulang tidak pamit. Aku tidak menanngapi pertanyaan yang di tujukan kepadaku. Aku hanya bilang besok kita ketemuan di sekolahnya. Aku sudah memutuskan, mungkin kisah ini singkat dan tak membuat Dinda akan tersakiti. Mungkin orangtua Dinda benar, dia tidak ingin melihat anaknya sengsara hidup denganku. Dinda masih muda dan punya masa depan.
            Ketika itu aku menunggu Dinda di depan gerbang sekolah. Aku bertemu dengan temannya Ike, dan menanyakan keberadaan Dinda.
            “Ike, Dinda mana?”
            “Mas Fikar, Dinda ada di dalam.sebentar lagi keluar.”
            “Terimakasih.”
            Aku mendengar percakapan Ike dan teman-teman Dinda yang lainnya.”Dinda kok mau ya sama cowok itu, kayak nggak laku aja. Apa bagusnya sich cowok itu. Udah Duda dan nggak gaul banget.” Salah satu teman Dinda mengejekku, aku bertambah yakin kalau aku harus memutuskan hubungan dengan Dinda, karena aku nggak mau Dinda terbebani dengan hubungan ini. Dinda keluar dengan senyuman. Seperti biasa Dinda mencium tanganku setiap bertemu.
            “Udah lama Mas?”
            “Baru saja..” Jawabku dengan dinginnya.
            “Kenapa mas? Dari semalam aneh?” Tanya Dinda.
            “Dinda.”
            “Ada masalah Mas?”
            “Aku memutuskan untuk....”
            ‘Apa Mas?’
            “Kita jalan sendiri-sendiri dulu. Aku harus memikirkan masa depanku, begitupun kamu, kamu juga harus memikirkan masa depanmu. Kamu masih muda dan pasti banyak yang ingin kamu capai.”
            “Tapi masalahnya apa mas?”
            “A...ku mau balikan lagi dengan mantan istriku.” Aku berbohong.
            “Apa???” Dinda menangis, sebenarnya aku tidak tega melihat Dinda menangis. Tapi aku harus melakukan itu demi kebahagiaan Dinda.
            “Neng... mungkin Dunia tidak merestui kita.” Aku mengucapkan kalimat terakhir pada Dinda,setelah itu aku pergi dari hadapan Dinda yang masih membisu. Hatiku ini juga sakit ketika memutuskan ini. tapi aku harus melakukan itu.
            Aku menjalani hari-hariku yang sepi tanpa kehadiran Dinda. Aku tidak menyangka Dinda datang ke bengkelku dengan membawa koper dan menangis tersedu-sedu. Aku bingung dengan apa yang dilakukan Dinda.
            “Kamu mau kemana Neng?”
            “Aku sudah tahu mas, ayah kan yang menyuruh kamu menjauhiku?”
            “Buk...an..” JawabKu gugup.
            “Jujurlah mas. Kamu tidak berniat kembali pada mantan istrimu kan? Ayah yang menyuruh kamu menjauhi aku? Jawab Mas?” Dinda menangis tak henti-hentinya.
            “A..ku, maafkan aku Neng.”
            “Bawa aku lari dari sini mas.”
            “Bukan ini yang aku mau Neng, aku inginkan dirimu baik-baik Neng.”
            “Ketika baik-baik tak jadi pilihan, kamu harus lakukan cara yang lain mas.”
            “Neng.. aku nggak bisa...” Belum selesai aku bicara, keluarga dan teman-temannya Dinda datang ke bengkelku. Ayahnya marah-marah karena meyangka aku menyebabkan Dinda kabur dari rumah. Aku semakin bingung apa yang harus aku lakukan. Ingin ku pertahankan karena Dinda memintaku untuk bertahan. Di sisi lain ingin ku akhiri ketika aku ingat masa depan Dinda.
            “Kamu akan saya laporkan kepada Polisi, karena telah menculik anak di bawah umur.” Ayah Dinda menarik dinda untuk pulang. Aku menahan tangan Dinda dengan sekuat tenaga, tapi aku harus melepaskannya pelan-pelan agar Dinda tidak sakit.
            “Ayah...aku berhak menentukan pilihanku.”
            “Pilihan kamu yang mana? Mas Fikar Mu ini?”
            “Udah lah Dinda, kita pulang sekarang.” Ibunya menenangkan Dinda.
            “Nggak mau Bu...”
            “Dinda...kamu nggak pantes dengan mas Fikar.” Teman-teman Dindapun ikut berkomentar.
            “Kenapa dunia ini tidak merestui aku dan mas Fikar? Kenapa?? Apa salah aku mencintai mas fikar, toh mas fikar baik kepadaku.” Dinda menangis dengan tersedu-sedu.
            “Kamu diam Dinda.” Ayahnya mulai membentak, pemilik bengkelpun terkejut dibuatnya dengan keributan yang terjadi. “Buat kau Fikar, jangan pernah temui anak saya lagi, dan saya harap kau akan pergi dari kota ini.”
            “Sabar pak ini bisa di bicarakan baik-baik.” Kata pemilik bengkel.
            “Kau siapa?”
            “Pemilik bengkel ini.”
            “Baik, aku beri dua pilihan. Kau pecat si Fikar atau bengkel ini saya laporkan kepada polisi?”
            “Maafkan saya Pak...” Pemilik bengkel bingung. Aku tahu, aku memutuskan untuk berbicara.
            “Biarkan saya yang pergi Pak.” Aku mengemasi barang-barangku. Kulangkahkan kakiku dan melihat wajah sendunya Dinda. Mungkin kisahku berakhir disini. Aku mengucapkan selamat tinggal untuk Dinda.
            “Mas Fikar...” Dinda berteriak dan melepaskan genggaman tangan ibunya, dan berlari menujuku, tiba-tiba mobil dengan kecepatan kencang menghantam tubuh Dinda. Aku menyaksikan orang yang aku cintai tertabrak mobil. Aku histeris dan memeluk tubuh Dinda yang berlumuran darah. Pertolongan belum kunjung datang.
            “Dinda......” Pekikku.
            “Ma...s fi..kar... maafin Dinda.”
            “Neng, aku yang salah, maafin aku. Harusnya aku tidak meninggalkan Neng sendirian disini. Harusnya aku memperjuangkan cinta kita, bukan melarikan diri seperti ini...” Aku menangis. Keluarga dan teman-teman Dinda menghampiri tubuh Dinda yang aku pangku.
            “Ay..ah, I..Bu. maafin Dinda ya. Dinda mencintai Mas Fikar.”
            “Kamu harus segera di bawa kerumah sakit.”
            “Nggak u..sah ayah. Dinda Cuma ingin di peluk sama Mas Fikar untuk terakhir kalinya. Dinda Tahu kalau dunia ini tidak merestui Dinda dan Mas Fikar untuk bersatu, tapi Dinda yakin Allah merestui kami berdua. Buktinya Allah akan segera mengambil Dinda.”
            “Dinda kamu jangan bicara seperti itu...”
            “Maafkan Dinda...!! Mas Fikar ...Dinda tunggu mas di syurga ya. Dimana Allah merestui kita berdua. Buat Ayah dan Ibu, maafin Dinda yang tidak mau nurut...” Dinda telah menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuanku. Aku tidak menyangka cinta sesingkat ini. aku tidak menyangka Dinda berlalu pergi dariku.
            Apakah ini suatu penyesalan bagiku? Ataukah ini suatu takdir yang harus aku jalani. Aku tidak tahu kenapa dunia tidak mengizinkan aku bersama, apakah salah aku mencintai Dinda yang umurnya jauh di bawahku. Tapi benar kata Dinda, dunia memang tidak merestui kita, tapi Allah telah merestui kita. Aku akan selalu menjaga cinta kamu Dinda. Sampai aku akan kembali kepangkuanMu di Syurga.
The End...