Oleh : Fidri
Yuliyana,A.Md ( Fidri Candlelight)
PENGORBANAN DEMI
ORANG YANG DISAYANG
Cuaca hari itu sangat panas sekali,
hingga membuatku tidak konsen mendengarkan pelajaran yang diberikan oleh guru
bahasa inggris. Jam sudah menujukkan angka 13.00wib, dan sebentar lagi lonceng
akan berbunyi, menandakan pelajaran telah usai. Ternyata benar...lonceng telah
berbunyi.... Teng...teng...teng.... aku bersiap-siap untuk segera pulang, semua
buku-buku ku tutup dengan rapi dan aku masukkan ke dalam tas lusuhku. Kotak
nasi dan tempat minumku juga sudah aku masukkan.
Aku melangkahkan kakiku untuk
pulang, sahabatku namanya Mimi sedang piket sendirian aku menawarkan pulang
bareng.
“Mi... pulang bareng yuk.”
“Maaf Di, aku pulang jalan kaki
aja.”
“Kenapa?” Tanyaku lagi.
“Aku nggak punya ongkos untuk pulang,
uang jajanku habis,setelah bayar uang LKS.”
“Owh...” aku merogoh kantong
celanaku, uangku hanya bersisa 500,- untuk ongkos aku hari ini. Aku berfikir
keras, akhirnya aku meutuskan pulang dengan berjalan kaki.
“Kamu nggak pulang Di?” Tanya Mimi
kepadaku, hingga aku tersentak dari lamunanku.
“Aku pulang bareng sama kamu, aku
jalan aja. Ternyata uangku tidak cukup untuk naik angkot.” Aku sedikit
berbohong kepada Mimi, karena aku kasihan melihat dia sendirian pulang.
“Owh... begitu, ya udah. Tunggu
bentar ya. Aku siapain dulu menyapunya.”
“Okey dech...” Jawabku sambil
beranjak ke luar kelas.
Mimi akhirnya selesai juga menyapu
lantai kelas. Aku dan Mimipun pulang dengan berjalan kaki, membutuhkan waktu
dua puluh menit untuk sampai kerumah. Aku lelah setelah sampai dirumah.
“Dian, kenapa kamu pulang lama
sekali?” Tanya Ibuku.
“Aku pulang jalan kaki Bu.”
“Lho...kenapa? apa uang jajanMu
sudah habis?”
“Nggak...masih ada kok, pengen jalan
kaki aja biar ngirit.” Jawabku dengan senyuman.
“Soalnya kakak Mu sudah dari tadi
pulangnya.” Jawab ibu lagi dan terus berjalan masuk kedalam rumah.
Aku membuka sepatu, dan melepaskan
kaos kakiku. Aku masuk menuju kamar. Kakakku sudah berada di kamar, dia
menegurku.
“Tadi pulang jalan kaki ya?”
“Iya...” jawabku.
“Uang jajannya bersisa donk.”
“Alhamdulillah untuk di tabung.”
“Owh...” jawab kakakku pendek.
Setelah aku mengganti pakaianku, aku bergegas ke kamar mandi untuk wudhu. Aku
melaksanakan shalat dzuhur. Setelah selesai aku merogoh sakuku, ternyata uang
ku 500,- sudah lenyap entah kemana. Aku memandangi kakakku yang sedang
tertidur. aku menepis kalau dia yang mengambilnya, mungkin saja tadi terjatuh
ketika berjalan pulang. Mungkin nggak rejeki kali ya.
Keesokan harinya, aku diberikan oleh
Ibu uang jajan perminggu, 15.000,- perminggu. Aku diberikan sama dengan
kakakku. Uang jajan itu sudah lumayan untukku, aku bisa menabung setidaknya
5.000,- seminggu karena kebetulan aku bawa bekal kesekolah, ongkos pulang pergi
hanya 1000,- .
Aku masih menemani Mimi pulang dengan
jalan kaki, dengan begitu sisa uangku masih banyak, karena Mimi tidak mau aku
bayari untuk pulang dengan angkot. Uangku aku simpan di dompet di dalam lemari.
Aku tidak menyangka, kecurigaanku selama ini benar, uangku selalu berkurang
karena kakakku yang mengambilnya. Aku memergokinya sedang mengambil uangku di
lemari.
“Kak...”
“Apa ?” Jawab Kakakku dengan
berangnya, karena malu ketahuan mengambil uangku.
“Ambil apa?” Tanyaku lagi, pura-pura
tidak tahu.
“Awas ya, kalau ngadu sama Ibu...”
Kakak mengamcamku, dan berlalu pergi. Aku langsung melihat ke dompetku,
ternyata sisa uangku 2.500,- dan itu cukup untuk ongkos kesekolah selama lima
hari kedepan. Aku hanya bisa terdiam, dan menangis tersedu-sedu.
Kejadian itu berlangsung setiap
minggu ketika ibu memberikan uang jajan perminggu pada hari senin. Aku sudah
menyimpan uang itu jauh dari perkiraan
kakakku, tapi tetap saja bisa di ambil. Kakakku bilang, uang jajannya tidak
mencukupi sekolahnya yang sudah kelas tiga, karena ada pelajaran tambahan. Akhirnya
aku mengalah, aku kesekolah dengan membawa uang 500,- sehari untuk ongkos pergi
ke sekolah, untuk pulang aku bisa berjalan kaki dengan Mimi.
Ketika itu di kelasku, mengadakan
pergantian perangkat kelas. Dan aku di tunjuk sebagai bendahara. Aku kaget
sekali, karena aku memikul uang kas kelas aku yang pegang. Aku sempat menolak,
tapi suara yang diperoleh membuat aku terpilih, mau tidak mau aku siap menjadi
bendahara kelas.
“Selamat ya Di.”
“Makasih ya Mi.”
Hari itu hari pertama aku menjadi
bendahara, minggu pertama teman-teman membayar uang kas. Aku menyimpan uang kas
sebaik mungkin, kakakku juga tidak mungkin mengambil uang itu, karena itu uang
sekolah. Memang benar dia tidak mengambil uang itu, berlangsung sampai libur
semester.
Semester satu sudah berlalu,
kebiasaan dirumah, kalau libur uang jajan juga libur. Aku tidak masalah dengan
itu, kakakku jadi masalah buatnya. Dia meminta kepadaku untuk meminjam uang kas
kelasku.
“Dian... pinjam uang kasnya donk.”
“Nggak mungkin kak, ini uang sekolah.”
“Pelit banget sich jadi orang.”
“Kalau gitu, tabungan kamu mana?”
“Tabungan yang mana lagi kak.?”
“Kan setiap minggu Ibu kasih uang
jajan, masa nggak punya tabungan sich.”
“Kan semua uangnya udah kakak
ambil.”
“Pelit banget sich, ntar uangnya hilang
loh.”
Aku menahan penderitaan ini, aku
merasa sedih dan kecewa. Kalau aku bilang sama Ibu, pasti Ibu akan memarahi
kakak, tapi kalau nggak di bilang kakak pasti akan begini terus. Aku dilema
jadinya, aku bagaikan buah simalakama. Selama libur aku tidak pernah mengecek
uang kas sekolah di dalam tasku. Senin sudah masuk sekolah lagi. Malam harinya
aku menghitung uangku, dan ternyata uang kas ku Cuma tinggal 10.000,- dan
hilang 50.000,- aku menangis dan menanyakan kepada kakakku.
“Kak, uang kas ku kakak ambil ya?”
“Pinjam, bukan ambil. Besok dicicil
dech. Besok kan Ibu ngasih uang jajan.”
“Awas ya kakak, kalau nggak di
ganti.”
“Iya... bawel, awas ya kalau bilang
sama Ibu.” Ancam kakakku.
“Iya, asalkan kakak mau balikin
uangnya ya.”
Hari senin telah tiba, pertama masuk
sekolah setelah libur panjang. Saat itu pelajaran Bahasa Indonesia, kebetulan
walikelas yang mengajar pelajaran itu.
“Dian, bisa ke depan sebentar.”
“Ya buk...”
“Uang kas udah berapa?”
“Sebentar bu, saya cek dulu.Hmmm
60.000,- Buk.”
“Ada bawa uangnya semua?” Tanya
Walikelasku
“Hmmm... nggak bu, uangnya tinggal
dirumah, saya hanya bawa 10.000,-.”
“Minggu depan kamu bawa ya uangnya.”
“Iya Buk...” JawabKu gugup.
Sepulang sekolah, aku bicara dengan
kakakku.
“Kak, walikelas aku minta uang kas
senin depan.”
“Yach, uang kakak belum cukup.”
“Adanya berapa?”
“Cuma 10.000,- “
“Ya udah, nggak apa-apa.” Aku
mengambil uang itu dari tangan kakakku. Aku memikirkan dari mana uang 40.000,-
lagi aku dapatkan. Kalau di tambahkan uang jajanku 10.000+12.500= 22.500
sedangkan uang yang terpakai 50.000 jadi yang harus di cari 50.000-22.500=
27.500. aku pusing memikirkan dari mana uang yang akan diambil untuk mencukupi.
Minta sama Ibu atau Ayah itu nggak akan mungkin.
Ketika itu aku memberitahukan
masalah ini kepada Mimi, Mimi memberikan bantuannya dengan memberikan seluruh
uang jajannya, aku sangat terharu ketika Mimi menawarkan itu, sedangkan aku
tahu, mimi tidak mempunyai uang jajan yg lebih. Tapi demi menolongku dia rela
memberikan kepadaku. Aku menolak pemberiannya dan ketika itu dia mengusulkan
aku untuk berjualan saja di kelas. Tanpa sepengetahuan orangtuaku, aku
berjualan di kelas, aku mengambil dagangan dari kakak sepupuku. Aku berjualan
risol, pastel, tahu, dan kacang di dalam kelas. Mudah-mudahan bisa mencukupi
uang yang terpakai. Ternyata aku bisa mengumpulkan uang 15.000,-. Dan jika di
tambahkan 22.500+15.000=37.500 dan kekurangannya tinggal 12.500, dan cukup jika
senin depan Ibu memberikanku uang jajan.
Hari seninnya walikelas memanggilku
meminta uang kas. Aku memberikan uang kas yang diminta Walikelas dan
memberitahu kepada Walikelas keberatanku untuk menjadi bendahara. Aku pindah
tangankan bendahara kepada Mimi dengan alasan yang sebenarnya tidak masuk akal.
Tapi alhamdulillah walikelasku paham dengan keadaanku. Sekarang aku sudah
terlepas dari satu masalah, aku tidak lagi menjabat sebagai bendahara, dan
kejadiaan ini tak akan terulang kembali.
Seusai pulang sekolah, tiba-tiba
hujan turun dengan deras sekali. Mimi mengajakku pulang dengan naik angkot. Aku
menghitung uang jajanku, kalau aku sekarang pulang naik angkot, hari sabtu aku
tidak bisa pergi kesekolah naik angkot,dan pasti ibu bertanya kepadaku. Mimi
juga tidak bisa meminjamkan uang nya karena uang Mimipun hanya tinggal 500,-
untuk ongkos pulang.
“Mi kamu duluan aja.”
“kamu gimana Di?”
“Nggak apa-apa, nanti kalau udah
reda aku akan pulang berjalan kaki.”
“Nggak mungkin Di, hujannya akan
turun lama.”
“Tapi aku...”
Mimi tahu dengan masalah yang tengah
aku hadapi. Aku selalu kekurangan uang jajan. Akhirnya Mimi memberikan usul
kepadaku.
“Di, kita pulang jalan kaki aja ya.”
“Kamu pulang aja dengan angkot mi,
aku nggak apa-apa kok.”
“nggak apa-apa, kita pulang yuk...”
Ajak Mimi.
Akhirnya aku dan Mimi pulang di
tengah guyuran hujan, aku dan mimi seperti anak kecil yang tengah mandi hujan.
Mimi memang sahabatku yang terbaik, mengeti dengan keadaanku. Mimi
menghargaiku, karena aku sering menolongnya, ketika aku ada uang jajan lebih
aku mengajaknya untuk pulang bareng naik angkot. Semua basah, buku-bukuku
basah,sesampai dirumah aku takut di tegur oleh Ibu, ternyata dugaanku benar.
“Dian... kenapa nggak naik angkot
aja, kan hujan.”
“Tadi, Mimi berjalan sendirian.”
“Kalau Mimi nggak punya uang untuk
ongkos, kamu kan bisa ongkosin dia.”
“Iya Bu...”
“Jangan ulangi lagi ya.”
“Iya Bu...” padahal Mimi yang
menemaniku hujan-hujan karena nggak punya uang, maaf kalau aku tidak jujur Bu.
Aku kedinginan, aku mengigil tapi di
depan Ibu aku baik-baik saja. Aku menangis tersedu. Kakakku masuk kekamar.
“Kenapa?”
“Nggak ada..”
“Jangan Bohong, tadi kenapa nggak
naik angkot pulangnya, udah tahu hujan deras.”
“Nggak punya ongkos untuk pulang.”
“Memangnya uang jajan yang di kasih
Ibu kemana?”
“Bayar uang kas yang terpakai oleh
kakak.”
“Maafin kakak ya dek...” kakakku
menangis, aku tidak tega untuk marah kepadanya. Aku menyayangi kakakku. Aku
hapuskan semua tentang kakakku, tidak apa-apa kalau aku harus kehujanan demi
kakakku bahagia.
Mungkin dengan kejadiaan ini, aku
bisa melihat siapa sahabat yang selalu berada di sisiku, ketika aku sedih
maupun senang. Bulan depan Mimi Ulang tahun, aku sudah berniat memberikannya
kado. Uang tabunganku sudah tidak ada, aku
melanjutkan berjualanku untuk membelikan Mimi Kado.
“Di, kok masih jualan?” Tanya Mimi
padaku.
“Pengen nabung aja.” Aku berbohong
sedikit.
“Owh....”
Selama sebulan tabunganku terkumpul,
dan cukup untuk membelikan Mimi hadiah. Agar uangnya aman, aku menitipkan pada
Mimi.
“Mi aku nitip tabunganku ya. Bulan
depan aku ambil”
“Boleh..” Jawab Mimi
Jadi setiap hari untungnya aku titip
sama Mimi. Mimi memang sahabat terbaikku. Aku membelikan kado yang dia
butuhkan. Berjuang mendapatkan membelikan kado untuk sahabat terbaikku, tak ada
masalah. Mimi selama ini ingin memiliki kotak pensil yang lengkap seperti yang
aku punya. Aku terharu saat dia memegang kotak pensilku yang di belikan oleh
Ibu.
“Di... belinya berapa nich???”
“Kenapa?” Tanyaku.
“Bagus banget.”
“Itu Ibu yang belikan, aku nggak
tau. Kamu suka?”
“Iya, tapi aku nabung dulu dech
untuk beli ini.”
“Iya...”
Uangku sudah terkumpul, dan cukup
untuk membelikan kotak pensil itu. Aku mengambil uang tabunganku pada Mimi.
Besok Mimi Ulangtahun, kadonya harus ada besok. Aku mencari kotak pensil itu di
pasar, tempat Ibu membelinya. Untung saja masih ada tersisa satu. Aku pulang
dengan membawa kotak pensil keinginan Mimi dan membungkusnya.
Keesokan harinya, pagi-pagi aku
sudah kesekolah. Aku sengaja datang lebih pagi. Aku menyiapkan kejutan buat
Mimi. Aku membelikan kue kering yang aku susun membentuk sebuah kue ulang
tahun, karna aku nggak bisa membelikan Mimi kue ulang tahun yang lebih bagus.
Murid-murid sudah datang, tapi Mimi
belum juga kelihatan. Mimi sering telat karena dia ke sekolah jalan kaki.
Ketika aku melihat Mimi dari kejauhan aku menyiapkan kejutan itu.
“Selamat ulang tahun, kami
ucapkan...” Aku menyanyikan selamat ulang tahun buat Mimi, dan teman-teman yang
ada dalam kelas ikut menyanyikan lagu
itu.
“Dian... aku terharu.”
“Tiup lilin dulu.” Kataku, Mimi
meniup lilinnya dan memelukku.
“Mi, selamat ulang tahun ya, dan ini
buat kamu.”
“Apan ini Di?”
“Buka aja, mudah-mudahan kamu suka.”
Aku memberikan kotak itu pada Mimi
“Aku buka yach.” Mimi membuka kado
itu, dan terbelalak saat melihat kadonya.” Dian....a..ku.” Mimi terbata-bata
karna haru.
“Kamu suka?”
“Iya Di, jadi selama ini kamu
menabung...?”
“Iya Mi... aku ingin memberikan kado
terindah untuk sahabatku.”
“Makasih Di.”
“Iya..”
Semua teman-teman mengucapkan
selamat ulangtahun kepada Mimi, aku bahagia sekali melihat kebahagiaan Mimi
mendapatkan sesuatu yang dia inginkan. Mungkin hanya ini kado yang mampu aku
belikan buat Mimi. Semoga bermanfaat. Kado terindah untuk sahabatku. Wish you
All the best. Pengorbanan Mimi belum sebanding dengan apa yang aku berikan, aku
bersyukur punya sahabat sebaik Mimi yang selalu mendukung aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar